Minggu, 10 Mei 2020

AUTOIMUN (System Lupus Erithematosu)



                              AUTOIMUN

System Lupus Erithematosus (SLE)

A. Sistem Imun

Sistem imun adalah sistem yang membentuk kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke dalam tubuh agar terhindar dari penyakit. Sistem imun merupakan suatu jejaring yang didesain untuk homeostasis molekul yang besar (oligomer) dan sel berdasarkan pada proses pengenalan yang spesifik. Pengenalan dari struktur suatu oligomer oleh reseptor sel imun merupakan komponen penting dari kekhususan sistem imun (Sudiono, 2014:12).

Sistem imun terbentuk dari jejaring kompleks sel imun, sitokin, jaringan limfoid, dan organ, yang bekerja sama dalam mengeliminasi bahan infeksius dan antigen lain. Antigen yang merupakan substansi yang menimbulkan respons imun (misalnya bakteri, serbuk sari, jaringan transplantasi), mempunyai beberapa komponen yang dinamakan epitop. Tiap-tiap epitop menimbulkan pembentukan antibodi spesifik atau menstimulasi sel limfosit T spesifik. Antigen merupakan generator antibodi. Obat antigenik yang digunakan untuk mendidik sistem imun dinamakan vaksin. Bentuk modifikasi dari antigen original digunakan dalam bentuk vaksinasi dengan tujuan menstimulasi pembentukan sel T dan sel B memori tanpa menyebabkan suatu penyakit.

Menurut Fox (2008), sistem imun mencakup semua struktur dan proses yang menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit penyakit dan dapat di kelompokkan menjadi dua kategori yaitu:

a. Daya tahan tubuh non-spesifik

Daya tahan tubuh non-spesifik yaitu daya tahan terhadap berbagai bibit penyakit yang tidak selektif, artinya tubuh seseorang harus mengenal dahulu jenis bibit penyakitnya dan tidak harus memilihnya satu bibit penyakit tertentu saja untuk dihancurkannya.

b. Daya tahan tubuh spesifik

Daya tahan tubuh spesifik yaitu daya tahan tubuh yang khusus untuk jenis bibit penyakit tertentu saja. Hal ini mencakup pengenalan dahulu terhadap bibit penyakit, kemudian memproduksi antibodi atau T-limfosit khusus yang hanya akan bereaksi terhadap bibit penyakit.


Menurut Sudiono (2014:24) Ada 2 tipe utama dari sel-sel sistem imun spesifik, yaitu sel T dan sel B. Keduanya berasal dari sel-sel prekusor sumsum tulang embrionik yang kemudian dimodikasi secara spesifik; yang melalui timus menjadi sel T, yang melalui bursa limfatikus dalam sumsum tulang, hati, limpa, atau usus menjadi sel B. Baik sel T maupun sel B beredar dalam darah dan jaringan limfoid seperti kelenjar limfe.


Komponen Sistem Imun dan Fungsinya

Komponen sistem kekebalan tubuh pada  manusia  banyak terdapat di organ-organ

limfoid yakni limfa, nodus limfa, sumsum tulang belakang, timus dan tonsil.

1. Limfa

Limfa merupakan organ limfoid dengan ukuran yang besar dan terletak di belakang lambung. Adapun kalenjar yang dihasilkan leh limfa bewarna ungu tua yang memiliki fungsi antara lain membentuk sel darah putih (leukosit) dan antibodi, membunuh kuman dan menghancurkan sel darah merah yang sudah tua.

2. Nodus Limfa

Di dalam nodus limfa terdapat ruang yang lebih kecil yang dinamakan nodulus. Nah, di dalam nodulus terdapat ruangan yang lebih kecil lagi yang dinamakan sinus dimana di dalam sinus terdapat banyak makrofag dan limfosid. Nodus limfa berfungsi untuk menyaring mikroorganisme yang ada di dalam limfa.

3. Sumsum tulang

Di sumsum tulang inilah sel-sel darah (terutama sel darah putih) dibentuk oleh sel darah induk. Sel darah putih (leukosit) memiliki fungsi yang sangat vital bagi sistem kekebaan tubuh. Fagosit dan limfosit memiliki peran yang sangat penting bagi sistem kekebalan tubuh. Sel fagosit akan menghancurkan patogen yang masuk ke dalam tubuh dengan cara memakannya atau yang dinamakan sebagai fagositosis. Fagosit ini terdiri dari neutrofil dan monosit. Neutrofil akan beredar dalam aliran darah sedangkan monosit akan berubah menjadi makrofag yang kemudian dapat beredar hingga masuk ke dalam rongga tubuh.

Mikrofag melakukan fagositosis yakni dengan cara menarik atau menempelkan kaki semunya (pseudopodia) ke sel patogen, kemudian menghancurkannya dengan menggunakan enzim pencernaanya. Pada reaksi peradangan, proses fagositosis terjadi dengan cara mengelilingi patogen kemudian memakannya. Selain itu, pada kekebalan spesifik, makrofag juga memiliki peran yakni membantu menangkap dan mengantarkan mikroba patogen kepada sistem kekebalan lainnya untuk dihancurkan.

Limfosit terdiri dari dua jenis yakni limfosit B dan limfosit T.

a. Limfosit B

Dalam perkembangannya limfosit B mengalami pematangan di sumsum tulang, hidup dalam jangka waktu yang sangat lama dimana kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel limfosit B memori. Sel plasma memiliki fungsi mensekresikan antibodi ke dalam cairan tubuh sedangkan sel limfosit B memori memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan segala informasi terkait antigen yang pernah menyerang tubuh dalam bentuk DNA.

Sel limfosit B dapat membentuk sebuah struktur protein khusus yang dinamakan Immunoglobulin atau antibodi. Nah, protein ini dapat dipindahkan ke dalam membran sel sehingga dapat mengenali dan membunuh mikroba patogen yang ada di dalamnya. Antibodi ini pada dasarnya terbentuk sebagai akibat atau respon masuknya patogen yang dapat menyebabkan penyakit di dalam tubuh.


b. Limfosit T

Berbeda dengan limfosit B, limfosit T dimatangkan di kalenjar timus yang dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi sel T sitotoksik (cytotoxic T cell), sel T penolong (helper T cell), sel T supressor (supressor T cell) dan sel Tmemori (memory T cell).

  • Sel T sitotoksik (cytotoxic T cell) memiliki fungsi membunuh sel yang telah terjangkit patogen.
  • Sel T penolong (helper T cell) memiliki fungsi mengaktifkan limfosit B dan limfosit T. Sel T supressor (supressor T cell) memiliki fungsi sebagai penghambat kinerja Sel T penolong dan Sel T sitotoksik sehingga produksi antibodi berhenti (ibaratnya sebagai rem pada sepeda motor).
  • Sel T memori (memory T cell) memiliki fungsi untuk mengingat segala informasi terkait antigen yang pernah menyerang tubuh.

4. Timus

Timus berfungsi sebagai tempat perkembangan limfosit yang dihasilkan dari sumsum merah untuk menjadi limfosit T yang kemudian berubah menjadi sel T sitotoksik (cytotoxic T cell), sel T penolong (helper T cell), sel T supressor (supressor T cell) dan sel T memori (memory T cell). Timus tidak menyerang patogen secara langsung. Timus akan mensekresikan hormon tipopoietin untuk memberikan kekebalan pada Limfosit T.

5. Tonsil atau amandel

Tonsil berfungsi untuk membunuh penyakit yang terdapat pada saluran pernapasan pada bagian atas dan faring. Hal ini dapat dilakukan karena tonsil dapat mensekresikan kelenjar yang banyak mengandung limfosit.


Autoimun

Autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuh

sendiri. Sistem kekebalan tubuh menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau virus. Namun, pada seseorang yang menderita penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuhnya melihat sel tubuh yang sehat sebagai organisme asing. Sehingga sistem kekebalan tubuh akan melepaskan protein yang disebut autoantibodi untuk menyerang sel-sel tubuh yang sehat. Menurut Sudiono (2014:7).

Menurut Diantini, dkk (2016) Suatu intervensi atau gangguan yang terjadi dapat mengakibatkan reaksi yang berlebihan untuk self-antigen yang menyebabkan autoimunitas. Adapun yang tergolong penyakit autoimun antara lain juvenile idiopatik artritis (JIA), multipel sklerosis, lupus eritemetosus sistemik (SLE), diabetes melitus tipe 1, sindrom grave, skleroderma, multipel sklerosis (U.S. Departement of Health and Human Services, 2002).

Perbedaan gender dalam penyakit autoimun bisa disebabkan karena perbedaan antara sistem kekebalan tubuh laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki penekanan kekebalan yang lebih besar bila dibandingkan dengan perempuan. Pada perempuan menunjukkan peningkatan reaktivitas imun yang besar, yang dapat diterjemahkan ke ketahanan yang lebih besar untuk infeksi dan beberapa penyakit non-infeksi. Namun, ada kemungkinan bahwa reaktivitas imun yang lebih besar ini membuat wanita lebih rentan untuk mengalami penyakit autoimun. Selain itu faktor hormon esterogen dan usia juga dapat mempengaruhi tingginya angka kejadian autoimun pada wanita.


C. Lupus Erithematosus (SLE)

1. Pengertian Lupus Erithematosus (SLE)

Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) adalah kelainan inflamatori multisistem yang kronik, rekuren dan fatal sehingga sulit untuk didiagnosis. Penyakit ini tidak mempunyai marker diagnosis tunggal dan harus diidentifikasi melalui gabungan kriteria klinis dan laboratorik. Diagnosis akurat dari SLE penting karena pengobatan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit autoimun prototipik yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen sel nukleus yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Lupus eritematosus sistemik merupakan


penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam (Wahyuni, 2018).

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt, 2003). Systemic Lupus Erythematosus (SLE) termasuk kedalam kategori penyakit yang dikenal sebagai penyakit autoimun. Nama Lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti serigala. Pada abad ke-10, istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan kondisi peradangan kulit yang menyerupai gigitan serigala. Pada tahun 1872, seorang dokter yaitu Moriz Kaposi menyatakan bahwa Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu kondisi peradangan kulit yang kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik, seperti : demam, nyeri sendi, mudah lelah, anemia, penurunan berat badan, rambut rontok, luka di mulut, dan sensitif terhadap sinar matahari (Phillips, 2010). Jadi, penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak dan syaraf (Asih, 2015).


2. Gejala SLE dan diagnosis

Pada awal perjalanannya, penyakit ini ditandai dengan gejala klinis yang tak spesifik, antara lain lemah, kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas, demam, mual, nafsu makan menurun, dan berat badan turun. Gejala awal yang tidak khas ini mirip dengan beberapa penyakit yang lain. Oleh karena gejala penyakit ini sangat luas dan tidak khas pada awalnya, maka tidak sembarangan untuk mengatakan seseorang terkena penyakit lupus. Akibat gejalanya mirip dengan gejala penyakit lainnya, maka lupus dijuluki sebagai penyakit peniru(Roviati, 2012).

Menurut American College Of Rheumatology 1997 dalam Roviati (2012), yang dikutip Qiminta, diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:

  • Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
  • Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
  • Fotosensitive, yaitu timbulnya  ruam pada kulit oleh karena  sengatan sinar matahari
  • Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
  • Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini dijumpai pada 90% odapus.
  • Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan.
  • Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
  • Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-lain.
  • Kelainan pada sistem darah dimana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.
  • Tes ANA (antinuclear Antibody)  positif
  • Gangguan sistem kekebalan tubuh.


Menurut wahyuni (2018) terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting. Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

  • Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
  • Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
  • Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
  • Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
  • Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
  • Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
  • Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
  • Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
  • Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
  • Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
  • Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer


3. Kerusakan organ akibat SLE

Roviati (2012) Membahas kerusakan organ akibat SLE pada tubuh manuasia adalah sebagai berikut:

a. SLE menyebabkan peradangan jaringan dan masalah pembuluh darah yang parah di hampir semua bagian tubuh, terutama menyerang organ ginjal. Jaringan yang ada pada ginjal, termasuk pembuluh darah dan membran yang mengelilinginya mengalami pembengkakan dan menyimpan bahan kimia yang diproduksi oleh tubuh yang seharusnya


dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

b. Peradangan pada penderita SLE juga dapat terjadi pada selaput dalam, selaput luar dan otot jantung. Jantung dapat terpengaruh meskipun tidak pernah mengalami gejala gangguan jantung. Masalah yang paling umum adalah terjadi pembengkakan pada endokardium dan katup jantung.

SLE juga menyebabkan peradangan dan kerusakan kulit berupa ruam merah terutama di bagian pipi dan hidung.

d. SLE dapat mempengaruhi semua jenis sendi, namun yang paling umum adalah tangan, pergelangan tangan dan lutut. Terkadang sendi sendi mengalami pembengkakan. Selain itu otot juga tidak luput dari serangan SLE. Biasanya penderita mengeluhkan rasa sakit dan melemahnya otot-otot atau jaringan otot mengalami pembengkakan. Pada stadium lanjut, SLE dapat menyebabkan kematian tulang yang disebut dengan osteonekrosis.

SLE dapat menyerang sistem syaraf dengan gejala sakit kepala, pembuluh darah di kepala yang tidak normal dan organic brain syndrome yaitu masalah yang serius pada memori, konsentrasi dan emosi serta halusinasi. Serangan pada paru-paru dan darah juga biasanya


terjadi. Masalah pada jantung dapat berupa peradangan, perdarahan, penggumpalan darah pada arteri, kontraksi pembuluh darah dan pembengkakan paru-paru. Sedangkan penurunan jumlah sel darah merah dan sel darah putih sehingga menyebabkan anemia.


Penyebab dan Mekanisme SLE

Wahyuni (2018) menjelaskan ada beberapa penyebab SLE sebagai berikut:

Faktor genetika

Genome-wide assosiation studies (GWAS) menggunakan ratusan hingga ribuan marker single nucleotide polymoprhism (SNP) untuk penyakit SLE. GWAS telah mengkonfirmasi kepentingan dari gen yang berkaitan dengan respon imun dan inflamasi (HLA-DR, PTPN22, STAT4, IRF5, BLK, OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1, IRAK1, TNFAIP3, C2, C4, CIq, PXK), DNA repairs (TREX1), adherence of inflammatory cells to the endothelium (ITGAM), dan tissue response to injury (KLK1, KLK3). Temuan ini mengedepankan pentingnya jalur sinyal Toll-like receptor (TLR) dan interferon tipe 1 (IFN). Gen STAT4 yang merupakan faktor risiko genetik terhadap artritis rheumatoid dan SLE dikaitkan dengan kejadian SLE berat. Salah satu komponen penentu dari jalur-jalur ini adalah TNFAIP3 yang telah diketahui berperan dalam 6 (enam) kelainan autoimun termasuk SLE. b) Efek epigenetik

Risiko untuk penyakit SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik seperti metilasi DNA dan modifikasi histon pasca translasi yang dapat terjadi baik diturunkan atau modifikasi oleh lingkungan. Epigenetik menggambarkan adanya perubahan yang diwariskan dalam ekspresi gen yang disebabkan oleh mekanisme selain perubahan urutan basa DNA. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan hubungan metilasi DNA pada SLE. c) Faktor lingkungan

Sinar ultraviolet merupakan pemicu SLE yang berasal dari lingkungan. Paparan UVA2 dan UVB melalui proses tanning kulit untuk kecantikan dapat mengeksaserbasi peyakit kulit pada pasien dengan kelainan ini. Namun, akibat dari tidak terpapar matahari adalah defisiensi vitamin D dimana berkaitan juga dengan aktivitas penyakit. Faktor lingkungan lainnya adalah merokok, infeksi, estrogen eksogen, obat-obatan, agen biologis dan pestisida, alkohol, dan vaksinasi

d) Faktor hormonal

Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah menopause. Tingkat keparahan penyakit beragam saat hamil dan siklus menstruasi. Pada studi kohort terhadap

238.308 wanita yang diamati secara prospektif antara tahun 1976 dan 2003, faktor-faktor seperti menarch dini, pemakaian kontrasepsi oral, menopause dini, menopause surgikal, dan

penggunaan hormon pasca menopause berkaitan dengan meningkatnya risiko dari penyakit

SLE. Peran dari hormon pada penyakit SLE antara lain:

Kerentanan terhadap perkembangan SLE

a. Kadar estrogen endogen rendah bersifat protektif

b. Nilai androgen rendah pada laki-laki meningkatkan risiko

c. Pemakaian estrogen eksogen pada wanita meningkatkan risiko

d. Profil hormon dan aksis hipotalamus pituitasi pada pasien SLE

e. Meningkatnya metabolisme estrogen menjadi metabolit yang lebih poten (pada kedua jenis kelamin)

f. Nilai androgen rendah (pada kedua jenis kelamin)

g. Nilai androgen berkorelasi terbalik dengan aktifitas penyakit pada wanita

Roviati (2018) Mejelaskan mekanisme pertama yang dicurigai sebagai penyebab SLE adalah faktor genetis. Beberapa gen yang paling penting dalam kejadian SLE adalah yang terdapat pada Major Histocompatibility Complex (MHC). Gen-gen ini berhubungan dengan respons imun pada sel limfosit T, sel B, makrofag dan sel dendritik, karena mengkode peptida pada molekul reseptor di permukaan sel (Rahman & Isenberg, 2008). Beberapa gen yang diduga memiliki peran dalam insiden lupus diantaranya terdapat pada tabel 1 berikut ini.

Akar penyebab lupus adalah disfungsional sistem imun. Pada orang sehat, sel-sel limfositnya memiliki permukaan yang tertutup molekul glikoform dan protein komplemen yang akan membentuk struktur glikoprotein.

Pada penderita SLE, sel-sel ini kehilangan struktur glikoprotein tertentu, sehingga bentuk permukaan sel menjadi berbeda dibandingkan dengan sel-sel sehat yang mengakibatkan sel-sel imun melakukan kesalahan dengan menganggap sel-sel tubuhnya sendiri sebagai musuh dan melakukan penyerangan terhadapnya. Hal inilah yang menyebabkan gejala-gejala seperti peradangan kulit dan sendi, kelelahan yang ekstrim, kerusakan ginjal dan seterusnya.

Organ yang paling banyak terpengaruh pada penderita SLE adalah ginjal dan kulit. Pada ginjal penderita lupus terdapat antibodi yang mengikat DNA utas ganda yang berasal dari tubuh sendiri. Reaksi ini adalah reaksi autoimun, dan pentingnya antibodi anti Double-Stranded DNA (anti DS-DNA) ini telah diteliti dan terdapat pada 70% pasien lupus. Antibodi ini juga yang menyebakan kerusakan jaringan-jaringan tubug lain, terutama karena sifatnya yang menyerang inti sel. Selain itu ditemukan pula antibodi lain yang mengikat protein-protein yang berhubungan dengan inti sel. Kehadiran antibodi anti-Ro dan anti-La menyebabkan komplikasi jantung fetus pada ibu hamil. Ini yang menyebabkan SLE berbahaya bagi bayi yang dikandung ibu yang menderita SLE. Selain itu juga, kedua antigen ini bertanggunng jawab pada gejala SLE yang berupa lesi kulit.

Autoantibodi dapat terjadi pada seseorang yang sehat dengan tidak membahayakan dan justru memegang peranan dan memproteksi tubuh. Namun autoantibodi pada SLE tidaklah sama dan menyebabkan kerusakan jaringan. Proses terbentuknya antibodi Ig-G berafinitas tinggi yang mengikat DS-DNA dengan sangat kuat disebabkan oleh antigen. Permukaan sel yang membawa antigen (antigen presenting cel-APC), memiliki molekul major histocmpatibility complex (MHC) yang mengikat antigen, berikatan dengan Sel T pada reseptor sel-T (TCR). Hal ini menstimulasi interaksi antara B7 dan CD28 yang mengakibatkan pelepasan sitokin, sel B help dan peradangan atau penghambatan interaksi antara B7 dengan CTLA yang menekan aktivasi.

Pada penderita lupus, sel B berperan sebagai sel yang memiliki antigen, berikatan dengan sel T pada situs CD 40. Sel T dan sel B saling mempengaruhi, sel T menghasilkan TNF-α, interferon-γ dan interleukin-10 yang menstimulasi sel B untuk menghasilkan antibodi terhadap antigen yang terikat tersebut. Mekanisme ini diketahui dan membuka peluang untuk pengembangan pengobatan lupus dengan mencari molekul yang menghambat interaksi kedua sel tersebut.

Pada proses apoptosis yang normal, sel yang rusak mengeluarkan/mengekspos antigen untuk dikenali oleh antibodi, yang selama ini terkubur/tertutup oleh kepingan-kepingan sel penutup antigen. Pada penderita lupus hal ini terjadi secara tidak normal pada sel sehat yang yang distimulasi oleh faktor pemicu dari lingkungan, sehingga mengakibatkan pemusnahan sel sejenis oleh produksi antibodi.

Jalur-jalur ini membuka peluang untuk tritmen pengobatan pada penderita lupus. Selama ini, tritmen dokter pada penderita SLE biasanya dengan pemberian obat-obatan yang hanya mengurangi gejalanya saja, tidak pada peyebabnya. Misalnya pemberian obat-obatan antiinflamasi, antimalaria dan immunosupressant. Kini, sudah ada obat yang dapat digunakan untuk membantu meringankan serangan SLE yang disebut Lymphostat-B, yang berfungsi menghambat protein yang menstimulasi limfosit B (BLyS= B lymphocyte stimulator). Limfosit B adalah sel yang berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Jadi dapat memulihkan aktivitas autoimun menjadi normal, kemudian menghambat aktivitas protein tersebut sehingga limfosit B tidak bisa berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Berkurangnya produksi antibodi menyebabkan aktivitas penyakit lupus mudah dikontrol.

























Kamis, 03 Oktober 2019

Modifikasi Aktivitas Model Pembelajaran Konvensional Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Berpikir Kreatif Siswa

Elemen PBL
Konvensional
Berpikir Kreatif
Modifikasi
Berpikir Kreatif
Mengorientasi siswa pada masalah
Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
·     Guru menanyakan kepada siswa: Mengapa kita harus makan?
·     Guru menyampaikan tujuan dan prosedur pembelajaran.
Logis
Mengarahkan siswa untuk mengetahui tujuan pembelajaran serta memotivasi siswa untuk terlibat aktif pada pemecahan masalah yang diorientasikan diawal proses pembelajaran.
·       Guru mengajak siswa untuk mengamati video tentang anak yang kerdil, manusia raksasa serta anak yang memiliki tubuh yang sehat.
·       Guru memancing siswa untuk menuangkan gagasan terhadap permasalahan tentang perbedaan pertumbuhan badan yang ditayangkan melalui video pembelajaran tersebut.
Guru menyampaikan tujuan dan prosedur pembelajaran serta logistik yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Melibatkan Gagasan Baru
Siswa akan mengeluarkan berbagai gagasan-gagasan baru ketika mengamati dan memahami video pembelajaran yang telah diberikan.

Berpikir Divergen
Siswa akan mengembangkan gagasan-gagasan mereka untuk menjawab pertanyaan, memberikan solusi ataupun menanggapi pernyataan dari temannya tentang perbedaan dari anak yang bertubuh kerdil, raksasa dan memiliki tubuh yang sehat.

Logis
Siswa akan berpikir logis untuk mengungkapkan gagasan dan menjawab pertanyaan tentang video pembelajaran tersebut.






Mengorganisasi siswa untuk belajar
Membantu siswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
·     Guru mengajak peserta didik untuk mengamati gambar berbagai
makanan dan
kandungan zat makanan tersebut.
·     Siswa diminta untuk menentukan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh dan memberikan contoh makanan yang berguna bagi tubuh.
Logis,
Originalitas
Mengarahkan siswa untuk membatasi masalah dan membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk mengerjakan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
·     Guru mengajak peserta didik untuk melakukan uji kandungan makanan dengan beberapa bahan makanan yang telah disiapkan.
·     Siswa diarahkan untuk menentukan kandungan zat dari beberapa bahan makanan yang telah disediakan melalui uji kandungan zat.
·     Guru mengarahkan siswa untuk menentukan fungsi dari berbagai kandungan zat yang diperlukan oleh tubuh.

BerpikirDivergen
Siswaberpikiruntukmenentukandanmenyimpulkanapasajakandunganzatdarimakanantersebutdanapasajafungsinyabagitubuhgunamembantudalampertumbuhandanperkembangantubuh.

Logis
Siswa akan berfikir logis untuk mengungkapkan gagasan dan menjawab pertanyaan.

Originalitas
Siswa akan menjawab berbagai permasalahan atau pertanyaan berdasarkan hasil pemikiran mereka sendiri melalui pengamatan/
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Guru mengarahkan peserta didik untuk mencari dan menemukan berbagai informasi dan menjadi fasilitator untuk menjawab pertanyaan yang telah diberikan.
Melibatkan Gagasan Baru, Berpikir Divergen
·     Guru memberikan arahan pada siswa terkait prosedur kerja untuk melakukan uji kandungan zat makan secara berkelompok.
·     Guru mengarahkan siswa untuk merumuskan informasi-informasi berdasarkan hasil uji kandungan zat yang telah dilakukan.
·     Guru mengarahkan siswa untuk berdiskusi dalam menentukan fungsi dari berbagai kandungan zat yang diperlukan oleh tubuh dan menganalisis dampak yang terjadi pada tubuh apabila zat makanan tersebut tidak terpenuhi dalam tubuh .

Berpikir Analogis
siswaakanberpikirsecaraanalogisketikamengaitkanhasilpengamatanujikandunganmakanan dengan kegunaan zat makanan tersebut bagi tubuh hingga menarik kesimpulan terkait dampak yang ditimbulkan jika zat tersebut tidak terpenuhi bagi tubuh.

Melibatkan Gagasan Baru
Siswa akan menemukan berbagai gagasan baru melalui hasil pengamatan dan mengkajinya bersama kelompok masing-masing.

Berpikir Divergen
Bersama kelompok masing-masing siswa akan mengemukakan berbagai pendapat mereka terkait dari hasil uji coba kandungan zat terdapat dalam makan melalui uji coba yang telah dilakukan.
Kemudian siswa mendiskusikan dan mengembangkan gagasan-gagasan mereka untuk menjawab  pertanyaan, memberikan solusi ataupun menanggapi pernyataan dari temannya tentang fungsi dari berbagai kandungan zat makanan protein, karbohidrat, dan lemak yang di perlukan oleh tubuh,dan menganalisis dampak yang terjadi pada tubuh apabila zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh tidak terpenuhi.
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Siswa akan menuangkan jawaban mereka dalam bentuk laporan dan mempresentasikan di depan kelas
Logis
·        Guru menginstruksikan kepada siswa untuk membuat laporan uji kandungan zat dalam bentuk charta dan poster, kemudian mempresentasikannya di depan kelas.
·        Siswa akan mengembangkan gagasan mereka dalam menjelaskan fungsi dari berbagai kandungan zat yang diperlukan serta dampak yang ditimbulkan apabila zat makanan tersebut tidak terpenuhi.
Membuat Gagasan Baru
Siswa akan menjelaskan menjelaskan berbagai informasi yang di dapat dari hasil setiap uji kandungan zat makanan dalam bentuk chartadengan gagasan-gasan baru yang telah mereka temukan melalui pengamatan untuk mempermudah pemahaman ditambah dengan informasi-informasi terkait.

Berpikir Logis
Siswa akan berpikir logis dalam menjelaskan fungsi dari berbagai kandungan zat makanan sepeti, protein, karbohidrat, dan lemak yang di perlukan oleh tubuh serta dampak yang ditimbulkan apabila tidak terpenuhi dengan adanya perbagai gangguan pencernaan dan penyakit lainnya.


Menganalisis dan Mengevaluasi proses pemecahan masalah
·        Guru mengarahkan peserta didik lainnya untuk menganalisis dan menanggapi hasil kerja dari teman yang sudah mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas.
·        Guru mengajak peserta didik untuk membuat kesimpulan.


Berpikir Logis
·       Siswa secara berkelompok akan menanggapi hasil presentasi dari kelompok lainnya.
·       Guru mengkonfirmasi dan mengevaluasi hasil kerja dan diskusi yang telah dilakukan.
·       Guru memberikan penghargaan untuk kelompok yang terbaik.
·       Guru membimbing peserta didik untuk membuat kesimpulan.


Melibat kanGagasan Baru.
Siswa akan menyampaikan berbagai gagasan baru berdasarkan hasil dari analisis dan tanggapan mereka terhadap hasil kerja teman yang sudah di presentasikan

Berpikir Logis dan Mengembangkan Originalitas :
Siswa akan berpikir logis untuk membuat kesimpulan dan mengembangkan orisinalitas dengan menyampaikan kesimpulan berdasarkan keaslian dari hasil kerja dan diskusi yang telah dilakukan

Pertanyaan:
   1. Apakah yang dimaksud dengan model pembelajaran Problem Based Learning dan karakteristiknya?
   2. Jelaskan beberapa elemen yang terdapat pada model pembelajaran PBL dan keterkaitan dengan berpikir kreatif siswa?
   3.  Bagaimana cara membangun pola berpikir kreatif siswa dengan menggunakan model pembelajaran PBL?
   4. Apakah indikator dari pola berpikir kreatif siswa pada model pembelajaran PBL?
   5. Jelaskan salah satu karakteristik berpikir kreatif dalam model pembelajaran PBL untuk memecahkan masalah.